Langit Tujuh Biru
Sabtu, 11 April 2020
Langit Tujuh Biru: Muak
Langit Tujuh Biru: Muak: Muak Oleh: Addy Hasan Rakyat muak dengan colotehanmu wahai penguasa Katamu ini Pesta Rakyat Bukan itu pestamu bukan pestaku Kami hany...
Langit Tujuh Biru: Centeng
Langit Tujuh Biru: Centeng: Centeng Addy Hasan Centeng Belanda petantang petenteng dengan pongahnya, dulu Berkeliaran bak nasionalis menusuk dari belakang Pundi-p...
Langit Tujuh Biru: Darwinisme
Langit Tujuh Biru: Darwinisme: Darwinisme Oleh: Addy Hasan Tahukah engkau suku Aborigin kawanku Merekalah pemilik benua sebelah negara kita, dulu Tak berbaju dan pri...
Langit Tujuh Biru: Tangan-tangan Kuasa
Langit Tujuh Biru: Tangan-tangan Kuasa: Tangan-tangan Kuasa Oleh: Addy Hasan Ada Tangan-tangan kuasa di Kota ini Kawan Tangan-tangan besar itu tak terlihat Hanya asa...
Langit Tujuh Biru: Sinking the Poor
Langit Tujuh Biru: Sinking the Poor: Sinking the Poor Addy Hasan Jakarta was the city of every citizen Where the poor and the rich used to meet Jakarta was the ...
Rabu, 26 Oktober 2016
Tangan-tangan Kuasa
Tangan-tangan Kuasa
Oleh: Addy Hasan
Ada Tangan-tangan kuasa di Kota ini Kawan
Tangan-tangan besar itu tak terlihat
Hanya asap terlihat memenuhi udara sosial kita
Apinya ada nun jauh di sana
Dengan
licik tangan-tangan kuasa mainkan bidak
Letupan
relijius dipantikkan seakan membuat bara
Kaum garis
keras maju menghadang teriakkan kalimat suci
Bergerak
penuh amarah, diiringi tepukan Tangan-tangan kuasa
Itulah politik kawan, kau hanya bidak
Bukan, bukan apa yang kau lihat di permukaan, itu
fatamorgana
Di belakang layar sana, Tangan-tangan Kuasa itu bermain
Agar sang Calon seakan tertindas, bisa menang mudah
Elit
politik dan relijius saling mengintip
Adakah
peluang jadi bagian dari pemenang Pesta
Kau
hanyalah bidak kawan, tak lebih
Jangan terbawa romantisme ribuan
tahun lalu,
Tangan-tangan kuasa itu begitu kuat kawan
Ada, tapi kau tak kuasa melihatnya
Renungkan dan lihat dengan hati
Bukan dengan gemerincing koin demi Pesta
Jakarta, 26 Oktober 2016
Selasa, 25 Oktober 2016
Darwinisme
Darwinisme
Oleh: Addy Hasan
Tahukah engkau suku Aborigin kawanku
Merekalah pemilik benua sebelah negara kita, dulu
Tak berbaju dan primitif gaya hidupnya, katanya
Berladang dan berburu untuk hidup bukan gaya hidup
Gerombolan tahanan datang dengan ekspedisinya
Tertawa pandangi sang Aborigin lugu
Bercengkrama layaknya kawan seraya patok tanah
Ajari hidup Aborigin agar lebih maju untuk siasat
Tak lama serdadu berlabuh dengan larasnya
Bawa amunisi dan mesiu perangi suku
Tindas yang tak mau tunduk, libas tuntas
Evolusi Darwinisme terwujud, Aborigin kelam sejarahnya kini
Pluit dan Pasar Ikan adalah ruang sosial, dulu
Pedagang kecil, nelayan, guru dan anak-anak saling bersapa
Calon penguasa membawa bingkisan untuk bersiasat
Blusukan sambil meninggalkan sepatu laras aparat
Bagai pesulap berubahlah puing jadi taman
Rawa jadi hunian baru mewah nan congkak
Bukan pemilik lama kawanku tapi baru nan elit
Kaum nestapa minggir berjubel kandang bagai burung
Pantainya Jakarta indah katanya, untuk kapuk orang elit
Air melimpah jika hujan karena memang rawa, dulunya
Tapi dengan rupiah semua bisa disulap
Akankah Darwinisme terus berlanjut kawanku……
Jakarta, 25 Oktober 2016
Oleh: Addy Hasan
Tahukah engkau suku Aborigin kawanku
Merekalah pemilik benua sebelah negara kita, dulu
Tak berbaju dan primitif gaya hidupnya, katanya
Berladang dan berburu untuk hidup bukan gaya hidup
Gerombolan tahanan datang dengan ekspedisinya
Tertawa pandangi sang Aborigin lugu
Bercengkrama layaknya kawan seraya patok tanah
Ajari hidup Aborigin agar lebih maju untuk siasat
Tak lama serdadu berlabuh dengan larasnya
Bawa amunisi dan mesiu perangi suku
Tindas yang tak mau tunduk, libas tuntas
Evolusi Darwinisme terwujud, Aborigin kelam sejarahnya kini
Pluit dan Pasar Ikan adalah ruang sosial, dulu
Pedagang kecil, nelayan, guru dan anak-anak saling bersapa
Calon penguasa membawa bingkisan untuk bersiasat
Blusukan sambil meninggalkan sepatu laras aparat
Bagai pesulap berubahlah puing jadi taman
Rawa jadi hunian baru mewah nan congkak
Bukan pemilik lama kawanku tapi baru nan elit
Kaum nestapa minggir berjubel kandang bagai burung
Pantainya Jakarta indah katanya, untuk kapuk orang elit
Air melimpah jika hujan karena memang rawa, dulunya
Tapi dengan rupiah semua bisa disulap
Akankah Darwinisme terus berlanjut kawanku……
Jakarta, 25 Oktober 2016
Langganan:
Postingan (Atom)